Kiki Novilia | Jurnalis Tribun Lampung
“SUDAH punya suami belum?”
“Kenapa jadi wartawan?
“Mending kerja sama saya aja, yuk!”
“Nama kontaknya saya buat ‘Si Cantik’ aja, ya?”
Sepintas, seperti tak ada yang salah dengan kata-kata di atas. Namun, lisan begitu tergolong catcalling. Ia adalah kekerasan seksual secara verbal karena menimbulkan rasa terhina dan bentuk merendahkan derajat manusia. Secara eksplisit, catcalling menampilkan dominasi dengan tujuan membuat takut dan membuat korban merasa tidak nyaman. Catcalling berakar dari ketidaksetaraan gender yang melihat tubuh perempuan bukan semata-mata miliknya seorang.
Lebih dari satu tahun menjadi jurnalis, entah berapa puluh kali aku mendapat gangguan semacam itu. Aku tak hitung, sudah teramat banyak. Pelakunya kebanyakan para narasumber.
Dahulu, awal berkarier sebagai jurnalis, aku langsung panas dingin. Aku lebih banyak meliput berita ringan (softnews), jadi lebih sering sendirian. Karena itu, rasa takut akibat catcalling mengendap berhari-hari.
Sembari menepis rasa takut, aku coba introspeksi. Apakah sikap dan pakaianku mengundang gangguan semacam itu? Tapi, sepertinya tidak. Aku berpakaian tertutup dan tak bersikap yang aneh-aneh.
Aku pun sempat mendiskusikan hal itu dengan rekan sesama jurnalis perempuan. Tanggapannya justru di luar ekspektasi. “Ah, kamu saja yang beranggapan berlebihan, sudah biasa begitu,” ujarnya.
Wah, kacau! Bagaimana bisa tindak kekerasan seksual dianggap sedemikian entengnya? Apa ini juga berarti praktik merendahkan martabat orang lain sudah langgeng sejak dahulu?
Jangan memandang bahwa kekerasan seksual itu hanya pemerkosaan atau main fisik belaka. Ada kekerasan seksual dalam bentuk verbal. Ujaran rayuan, komentar tentang anggota tubuh tertentu, hingga pesan bernada seksual adalah iktibar kekerasan seksual secara verbal.
Aku mafhum, determinasi yang belum jelas turut menyumbang pemahaman yang bias. Mulai dari tindakan seperti apa yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual? Jika tak sampai menyerang fisik, apakah tak berlebihan untuk diperpanjang?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam kepala. Tanpa tindak lanjut, tanpa solusi. Benar-benar tak menjumpai titik terang.
Dahulu, ayahku pernah bilang, “Jangan jadi jurnalis, risikonya terlalu besar.” Padahal, jika dipikir-pikir, seorang jurnalis juga sama seperti profesi lainnya. Punya hak dan kewajiban yang setara, di antaranya beroleh rasa aman.
Ah, tapi tidak juga.
Ihwal keamanan dan kenyamanan dalam beraktivitas sebenarnya hak asasi manusia yang harus dihormati secara sadar oleh semua orang.
Sayangnya, orang-orang demikian tak kutemui selama peliputan. Yang ada hanyalah upaya mendominasi pihak lain yang dirasa lebih lemah melalui gangguan-gangguan seksual. Apalagi seorang perempuan, yang rasanya amat rentan dicap sebagai “warga kelas dua.”
Dalam pandanganku, perlu edukasi mendalam soal kekerasan seksual. Sehingga, tak terjadi lagi kasus serupa. Sebab, dampaknya sangat mengganggu, terutama psikis korban.
Aku yang mendapat kekerasan seksual lewat kata-kata saja kesalnya bukan main. Merasa jijik dengan mereka yang berbuat demikian serta trauma. Rasanya tak ingin meliput lagi. Apalagi yang lebih dari itu?
Selain edukasi, perlu regulasi yang secara gamblang mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual, termasuk catcalling. Misal, seperti apa teknis dan prosedurnya? Apakah harus melapor dahulu ke tempat bekerja, Komnas Perempuan, atau bisa langsung ke kantor polisi? Sebab, bagaimana mungkin terus-menerus mengedukasi, sementara belum ada regulasinya.
Selain itu, perlu memberi pembekalan kepada jurnalis. Amsal, seperti apa sebaiknya bersikap terhadap orang lain. Lalu, apa yang harus dilakukan ketika menerima kekerasan seksual.
“Direkam saja kalau dilecehkan,” kata salah satu rekanku menanggapi aksi kekerasan seksual.
Memang betul, rekaman bisa menjadi bukti. Tapi, muncul problem: Bagaimana jika jurnalis meliput ke tempat narasumber baru yang belum diketahui wataknya?
Psikolog Rosdiana Setyaningrum mengatakan, dari sisi psikologi, ada saat di mana korban amat terkejut hingga tak bisa berkutik. Tentu hal ini akan menyulitkan pengumpulan bukti-bukti.
Kemudian, fenomena lanjutan yang perlu antisipasi adalah menghindari victim blaming. Jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan seksual bukan berarti bisa dipojokkan semena-mena.
Mereka umumnya dianggap tak mampu mempertahankan diri sendiri, sehingga memantik pihak lain berbuat kekerasan. Sedangkan para pelaku melenggang bebas tanpa sanksi dari masyarakat.
Aku hakulyakin banyak kasus kekerasan seksual. Namun, para korban tak bersuara karena kerap disalahkan. Pada posisi begitu, mereka tidak akan berbagi pengalaman karena takut dihakimi. Bila demikian, kekerasan seksual akan terus berulang. Pendek kata, kasus kekerasan seksual yang terungkap hanya fenomena gunung es.
Rantai kekerasan seksual itu harus diputus. Kemudian, beri dukungan moral kepada korban serta edukasi para jurnalis perempuan agar tak mengalami persoalan serupa. Perlu kerja sama dari semua pihak karena penghapusan kekerasan seksual bakal melalui jalan panjang.(*)