Site icon AJI Bandar Lampung

Magang di Kantor Media: Disuruh Cari Iklan Hingga Dicekoki Cerita Wartawan Dapat Mobil

PARA wartawan sedang menjalankan kerja-kerja jurnalistik. | dok. Andi Apriyadi

 

Derri Nugraha | Jurnalis Lepas | Pemimpin Redaksi Sukma 2018-2019

AWAL Februari 2019, saya dan lima anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Suara Kreativitas Mahasiswa (Sukma) Politeknik Negeri Lampung (Polinela) menjalani magang di salah satu perusahaan media. Surat kabar ini telah terverifikasi administrasi dan faktual oleh Dewan Pers.

Selain kami, beberapa anggota Sukma juga menjalani hal serupa. Kami tersebar ke sejumlah perusahaan media di Bandar Lampung. Magang ini salah satu program Sukma setiap tahun. Tujuannya, menambah pengalaman dan merasakan langsung bagaimana menjadi jurnalis profesional.

Sejak pagi, saya dkk sudah di kantor. Kami duduk mengelilingi meja bundar. Hari itu, kami siap untuk rapat proyeksi.

Syahdan, muncul lelaki dengan perawakan cukup besar. Ia mengenakan kemeja dipadu jin berwarna biru. “Ngeteh atau ngopi,” tanya pria yang juga pemimpin redaksi (pemred) di perusahaan tempat kami magang. Saya memilih kopi, beberapa teman memilih teh. Sedangkan ia minta dibuatkan kopi tanpa gula.

Sambil menyeruput kopi, pria itu memulai rapat proyeksi. “Jadi, apa itu berita?” katanya. Kami sempat terdiam. “Suatu peristiwa aktual,” ujar salah satu kawanku. Tanpa mengoreksi, pria itu melanjutkan perkataannya. Alih-alih memberi kami materi terkait proyeksi liputan pada hari itu, ia justru menceritakan pengalamannya selama menjadi wartawan.

“Semenjak ikut Nunik (nama panggilan wakil Gubernur Lampung), ya Alhamdulillah sekarang sudah bisa dapat mobil,” ujarnya. Sontak kami kaget. “Wah, mantap tuh, bang,” timpal salah satu anggota Sukma. Dalam hati, saya bergumam, “Apa maksudnya ikut Nunik?”

Ternyata, “ikut” yang dimaksud sang pemred adalah apa-apa saja yang diperoleh selama membantu Nunik sewaktu Pilgub Lampung. “Cukup banyak agenda (kampanye) dari Nunik yang kami handle. Ya lumayanlah hasilnya,” ujar sang pemred yang mengantongi sertifikat uji kompetensi wartawan dengan jenjang wartawan utama itu.

“Gila…gila, racun emang,” kata saya dalam hati setelah mendengar kisah tersebut. Saya sebut “racun” karena perilaku lancung dalam jurnalisme itu disampaikan di hadapan jurnalis mahasiswa yang masih “murni.” Maksudnya, apa yang disampaikan sang pemred bisa membuat jurnalis mahasiswa berpikir bahwa praktik demikian sesuatu yang benar. Padahal, jurnalis dituntut menjaga integritas dan independensi. Bukankah hal yang disampaikan si pemred dapat “meracuni” pers kampus?

Setelah program magang berakhir, saya dan beberapa anggota Sukma mengadakan evaluasi. Masing-masing anggota menceritakan pengalamannya magang di perusahaan media. Ternyata, bukan hanya kami yang mendapati pekerja media yang “nakal” dalam menjalankan profesinya. Beberapa teman mengatakan, mereka justru disuruh fokus mencari iklan ketimbang memburu berita. Ini bisa berbahaya karena pers mahasiswa sejatinya tidak berorientasi profit. Jika diajarkan mencari iklan, justru dapat membentuk karakter pers mahasiswa yang berwatak kapital.

Anggota lain bercerita ketika diproyeksikan meliput isu politik, mereka disodorkan amplop berisi uang dari narasumber. Mirisnya, wartawan senior yang mendampingi peliputan justru membiarkan praktik yang bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik itu.

“Sudah, masukkan saja itu (amplop) ke dalam tas,” kata salah satu anggota menirukan ucapan jurnalis senior tersebut.

Tanpa menggeneralisasi, praktik bermedia seperti itu justru meracuni pers kampus. Padahal, pers kampus adalah ikhtiar melahirkan embrio jurnalis yang ideal. Ia seyogianya diajari teori dan praktik jurnalisme yang baik dan benar. Ini bila kita sepakat dan bersungguh-sungguh memperbaiki mutu jurnalisme.(*)

Exit mobile version