oleh

Konvergensi Media atau ‘Konvergensi’ Wartawan?

Tri Purna Jaya | Jurnalis Kompas.com

ARTIKEL ini dibuat dengan satu pertanyaan sederhana: Bagaimana rasanya mati perlahan dengan cara dibekap pakai cotton bud hingga tidak bisa bernafas?

Begitulah kondisi wartawan di era konvergensi media sekarang ini.

Lho, kenapa? Bukannya konvergensi media itu sebuah progres yang sangat progresif, terlebih di tengah kemajuan teknologi saat ini.

Yup, konvergensi media memang sebuah terobosan. Pembaca bisa mendapatkan informasi dari berbagai platform dengan satu kali jalan.

Tapi… Ya ada tapinya.

Bagaimana dengan nasib para jurnalisnya? Apakah juga ikut maju-jika bicara soal penghasilan, ataukah “nganu.”

Sejauh ini, dalam ranah dunia jurnalisme tingkat lokal (baca: daerah), konvergensi media justru dianggap menambah beban kerja.

Cerita ini saya dapat dari teman saya. Nggak perlu ditulis namanya, juga tidak perlu ditanya siapa ya (saya melindungi identitas narasumber, hahaha).

Dalam satu peliputan, tokoh kita ini diharuskan membuat minimal tiga jenis berita yang berbeda: berita video, berita daring, dan berita cetak.

Banyak ya, hahaha.

Belum… Masih ada lagi, live report untuk media sosial medianya, ditambah (kalau lagi rajin) laporan untuk radio.

Eh… Masih ada lagi (iya, masih ada lagi). Jadi host (pembawa acara) talk show.

Iseng-iseng, saya tanya tokoh kita itu.

“Wow, produktif sekali. ‘edeg’ (baca: gede) ya gajinya?”

“Halaaah, Mas. Asu!”

Saya mahfum dengan jawaban tokoh kita ini, meski dia tidak mendetailkan jawabannya. Beban bertambah, bayaran tetap sama. Istilahnya, one for all… All for one.

“Hahaha… Ya, jaga kesehatan saja. Awas kena tipes”

Beberapa wartawan senior yang berada di level manajemen tidak sependapat dengan cibiran saya, satu bayaran untuk banyak pekerjaan. Argumen mereka seperti pepatah, satu kali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Satu kali jalan, bisa selesai banyak kerjaan.

“Ya kalau begitu, bayarannya juga sesuai dong. Satu kerjaan ya satu bayaran. Berarti tiga kerjaan, ya tiga bayaran, logis kan?”

….dan mereka diam seribu bahasa.

Walah, berarti ini yang konvergensi wartawannya, bukan medianya.

“Konvergensi adalah memangkas cost produksi dibalut era 4.0,” kata tokoh kita sambil memakan siomay-nya dengan menggerut.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar

  1. Menurut Abdul Manan, kesadaran berserikat di kalangan pekerja media sangat penting. Sebab, serikat pekerja merupakan wadah yang legal untuk memperjuangkan kesejahteraan atau membangun prinsip-prinip hubungan ketenagakerjaan yang adil dan fair di perusahaan media. Harus diakui pembentukan serikat pekerja memang tidak mudah. Selain karena kesadaran berserikat yang kurang di kalangan pekerja media, ada juga faktor resistensi dari perusahaan. Karena hak berserikat dilindungi oleh undang-undang, itu harusnya menjadi dasar kuat bagi pekerja media untuk mendirikan serikat pekerja, kata Manan. Regulasi yang mengatur hak berserikat terdapat dalam Undang Undang Nomor 21 Tahuntentang Serikat Pekerja.

  2. Tanpa jaminan sosial, jurnalis yang sakit atau kecelakaan terpaksa membiayai sendiri pengobatannya. Biaya kesehatan yang besar sangat membebani jurnalis dan keluarga. Terlebih upah yang diterima jauh dari mencukupi alias tidak layak. Sebagai gambaran, saat ini AJI Bandung memiliki anggota 46 orang dan mayoritas tidak mendapat jaminan sosial dari perusahaan atau belum punya asuransi dan mendaftar asuransi secara pribadi. AJI Bandung menempuh solusi jangka pendek dengan memfasilitasi pendaftaran bagi anggotanya untuk mendapat jaminan sosial. Saat ini tercatat ada 14 orang yang mengikuti kepesertaan BPJS AJI Bandung. Mereka membayar premi tiap bulannya dengan uang pribadi melalui AJI Bandung. Solusi jangka panjangnya tentu perusahaan media yang bersangkutanlah yang harus menanggung BPJS bagi jurnalisnya.

News Feed