Peran Akademisi dalam Membangun Kembali Ruang Publik

Pendapat738 views

Dodi Faedlulloh | Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Lampung

DEMOKRASI tidak melulu soal konsensus. Demokrasi justru terus akan berdenyut ketika disensus berjalan. Perselisihan dan ketidaksepakatan akan menciptakan ketegangan kreatif, sehingga menghidupkan demokrasi sebagaimana mestinya. Di tengah kepungan oligarki, demokrasi hanya akan menghasilkan konsensus berwatak elitis. Hal ini yang patut diwaspadai.

Saat ini, demokrasi bisa menemui ajalnya melalui jalur-jalur yang justru demokratis (Levitsky & Ziblatt: 2019). Untuk menangkal kooptasi elit dan oligarki, maka publik harus bisa mengambil perannya kembali sebagai demos. Peran tersebut bisa direalisasi dengan cara membangun kembali ruang publik.

Ketika rezim Orde Baru berkuasa, secara terang memang ruang publik ditutup di segala arah. Namun, pascareformasi kehadiran ruang publik berada antara ada dan tiada. Kebebasan berekspresi didengungkan, tetapi ketika suara tersebut mengarah dan mengganggu kekuasaan, respons cepat yang seringkali muncul bersifat represif. Kondisi demikian mengakibatkan ruang publik yang ada hanya berjalan di atas kertas.

Salah satu filusuf besar, Habermas (1984), menjelaskan ruang publik sebagai bentuk realisasi komunikasi kemanusiaan. Yakni, komunikasi yang setara dan terbebas dari dominasi dan pihak tertentu, sehingga mampu mendorong kesepakatan yang tidak tercerabut dari sisi kemanusiaan. Melalui ruang publik yang mensyaratkan adanya paradigma komunikatif yang bebas dari dominasi penguasa, maka transformasi sosial yang dibangun dapat dijaga bersama oleh publik sebagai warga negara. Dengan kata lain, ikhtiar proses menjaga demokrasi kelak tidak melahirkan bentuk tirani baru. Partisipan yang terlibat dalam ruang publik didorong untuk melakukan komunikasi secara terbuka, setara, dan menggunakan pendekatan musyawarah untuk mencapai konsensus yang menghargai opini mayoritas maupun minoritas.

Apa yang diidealkan Habermas tidaklah mudah. Namun, bukan berarti menjadi misi yang mustahil. Kita bisa belajar dari jejak-jejak ruang publik yang pernah dibangun selama ini. Dalam konteks kemajuan teknologi, kehadiran ruang siber sebenarnya bisa dimanfaatkan menjadi ruang publik yang bisa menjadi kanal untuk turut mengontrol kekuasaan. Dalam kurun lima tahun terakhir telah cukup banyak aksi-aksi kontrol terhadap kekuasaan yang digaungkan dengan memanfatkan ruang publik digital. Walaupun harus diakui, ruang siber ternyata tetap menjadi ruang yang rentan untuk dikendalikan melalui pasal-pasal karet UU ITE.

Subjek dalam Ruang Publik

Ruang publik yang sehat adalah ruang publik yang mampu melahirkan diskursus atau percakapan publik. Percakapan publik tersebut tentunya dilakukan oleh subjek-subjek yang berada setia berjuang di ruang publik. Dalam hal ini, saya ingin menyoroti salah satu subjek yang secara inheren memiliki peran yang penting, tapi sayangnya belum berjalan secara organik; yaitu para akademisi.

Kritik terhadap peran akademisi bukanlah hal yang baru. Penelitian Inaya Rakhmani (2019) menunjukkan secara struktural birokrasi perguruan tinggi negeri membentuk perilaku insular, atau tersekat-sekat. Para akademisi menjadi terutup dan sibuk dengan disiplin ilmunya saja. Dengan beban kerja administratif yang berat dan beban mengajar yang sangat tinggi, akademisi sibuk dengan agenda pribadi sehingga luput menjalankan fungsi intelektual sosialnya.

Belum lama ini, Ahmad Junaidi (2021) memberikan kritik yang cukup keras kepada para akademisi. Akademisi beramai-ramai berlomba menggapai kinerja yang telah ditetapkan dan direkognisi tinggi oleh pemerintah, dengan melakukan publikasi jurnal ilmiah bereputasi, tapi lupa bagaimana membumikan riset tersebut kepada publik. Hal ini jelas bersinggungan dengan harapan terbangunnya ruang publik. Ketika akademisi lebih banyak berkutat dalam karier akademik semata, maka ruang publik sehat yang diisi oleh pelbagai diskursus segar dan kritis sulit didapatkan.

Memproduksi pengetahuan memang kewajiban yang melekat bagi akademisi. Namun, yang menjadi pekerjaan penting selanjutnya adalah bagaimana mengabarkan pengetahuan tersebut kepada publik. Eksistensi ruang publik sebenarnya bisa menjadi pendorong akademisi untuk mencurahkan gagasannya dan memperdebatkannya dalam suatu diskusi kritis. Oleh karenanya, akademisi justru perlu menjadi subjek yang aktif mengisi ruang publik, alih-alih sekadar menunggu “undangan” percakapan. Langkah-langkah kecil ini bisa dimulai dengan terlibat dalam diskusi publik di luar kampus, mengisi kolom-kolom populer media massa, dan turut tanggap dalam isu-isu terdekat tanpa perlu mempertimbangkan berapa angka kredit dan poin yang didapat sebagai penujang kinerja akademisi.

Mulai dari Ruang Publik Lokal

Bangunan politik nasional disangga oleh kondisi politik lokal (Halim, 2014). Oleh karenanya, apa yang terjadi di aras lokal perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni kemajuan demokrasi secara nasional. Begitupula dalam hal ruang publik. Membangun kultur ruang publik bisa dimulai dengan inisiasi ruang publik lokal. Akademisi bisa mulai membumikan hasil kristalisasi tri darma perguruan tingginya untuk kepentingan publik terdekatnya.

Dalam kondisi ideal, ruang publik bisa difasilitasi oleh pemerintah. Tetapi, kita tidak perlu menunggu. Ruang publik lokal bisa dibangun secara kolektif lewat inisiasi pihak nonkekuasaan (oposisi di Indonesia berada di kekuasaan). Ruang publik lokal tersebut bisa dimanifestasikan dalam berbagai bentuk pertemuan warga, ruang-ruang diskusi di lingkungan warga, ruang umum yang ditransformasi menjadi panggung publik, pendudukan fasilitas area publik seperti alun-alun dan semacamnya ketika menyampaikan aspirasi, serta tentunya ruang digital melalui pelbagai media.

Bila akademisi aktif menjalankan perannya sebagai intelektual, maka ruang publik bisa menjadi ruang pembelajaran bersama bagi publik. Tidak perlu berdiri di menara gading, akademisi bisa bergerak secara egaliter dan terbuka bersama publik. Karena selama ini, hasil riset-riset yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak, selalu ada peran publik di sana. Oleh karena itu, mengembalikan sesuatu yang didapat dari publik kepada publik adalah hal yang wajar. Bahkan, saya pikir itu adalah kewajiban.

Melalui ruang publik lokal, kita bisa belajar bersama tentang pentingnya bagaimana demokrasi perlu ditopang oleh adanya kontrol dari pihak nonpemerintah. Tata kelola pemerintahan tidak bisa dijalankan secara auto-pilot tanpa adanya partisipasi publik. Misal, dalam hal pembangunan dan kebijakan.

Keterlibatan publik adalah inti demokrasi. Publik harus ikut terlibat aktif, bukan semata-mata dilibatkan, dari mulai perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi. Dalam pandangan Stiglitz (2002), partisipasi sangat penting dalam memengaruhi perubahan yang terkait dengan transformasi pembangunan. Bila individu-individu menyampaikan aspirasinya yang mengarah pada perubahan, mungkin pendapat tersebut akan lebih mudah diterima. Oleh karena itu, proses partisipasi lebih efektif untuk menuju transformasi pembangunan secara luas.

Dalam hal ini, kita bisa berefleksi, apakah pembangunan dan kebijakan di aras lokal yang paling terdekat dengan kita telah memenuhi aspek keterlibatan publik? Bila belum, sudah saatnya menghidupkan kembali ruang publik.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *