Derri Nugraha | Jurnalis konsentris.id
BEBERAPA hari terakhir, jagat maya riuh soal aksi represi yang diterima pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI). Mulai pemanggilan oleh pihak kampus hingga dugaan peretasan akun media sosial terhadap anggota BEM UI. Itu terjadi setelah mereka membagikan meme bernada kritik yang menahbiskan Presiden Jokowi sebagai “The King of Lip Service” di akun media sosial BEM UI, Sabtu, 26 Juni 2021.
BEM UI menilai beberapa pernyataan atau janji yang disampaikan Jokowi kerap bertolak belakang dengan kenyataan. Misal, Jokowi pernah bilang rindu didemo. Namun, saat mahasiswa berdemonstrasi, justru mendapat represi bahkan ditahan oleh polisi. Atau, saat Jokowi berjanji akan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Secara faktual, saat Jokowi berkuasalah sederet upaya pelemahan KPK terjadi.
Publik pun bersuara atas peristiwa tersebut. Mahasiswa, akademisi, dan elemen masyarakat sipil beramai-ramai memberi dukungan kepada BEM UI. Mereka mengecam, bahkan mengutuk segala bentuk represi terhadap BEM UI. Alasannya jelas: Kritik BEM UI dalam bentuk meme merupakan bagian dari kebebasan berekpresi dan mengeluarkan pendapat. Sesuatu yang niscaya dijamin oleh konstitusi. Hingga Rabu dini hari tadi, postingan BEM UI mendapat lebih dari 30.000 komentar dan 300 ribu like.
Saya pun turut mengecam segala upaya yang berpotensi memberangus kebebasan seseorang dalam menyampaikan ekspresi dan pendapat. Sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM), kebebasan itu diperoleh sejak lahir. Bukan pemberian dari siapa pun. Seyogianya, setiap orang menghormati hak itu.
Sebenarnya, apa yang menimpa BEM UI bukan hal baru. Ia menjadi perbincangan karena diamplifikasi netizen dan berbagai kalangan. Persoalan serupa pun terjadi di kampus-kampus lain.
Pertengahan Februari lalu, secara beruntun sembilan mahasiswa jurusan Teknik Sipil Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) mendapat skors dan drop out (DO). Sanksi itu mereka terima setelah mendirikan sekretariat himpunan mahasiswa (Hima) di luar kampus. UTI menuding mahasiswa yang tergabung dalam Hima Teknik Sipil meresahkan dan mengganggu ketenteraman warga setempat. Bahkan, aktivitas mereka dinilai pihak kampus berpotensi mengarah ektremisme dan radikalisme.
Padahal, tujuan membangun sekretariat di luar kampus untuk mengembangkan roda organisasi. Juga sebagai “rumah” untuk berdiskusi, rapat, dan merancang agenda himpunan. Sebab, pihak kampus tak menyediakan fasilitas sekretariat khusus bagi Hima.
Bukankah seharusnya UTI mendukung kegitan tersebut? Artinya, mahasiswa berinovasi untuk terus berkembang. Bahkan, sebelum mendirikan sekretariat, mereka sempat menyewa indekos dengan swadaya. Inisiatif itu dilakukan agar tetap produktif dalam berorganisasi.
Anda bisa membayangkan, hanya karena ingin berserikat, hak dasar mereka untuk memperoleh pendidikan dirampas. Seharusnya, kampus sebagai institusi akademik yang berisi kaum intelektual paham betul hak tersebut harus dijamin dan dilindungi. Banyak ketidakadilan yang dialami oleh sembilan mahasiswa tersebut.
Secara esensial, apa yang dialami pengurus BEM UI dan sembilan mahasiswa UTI tak berbeda. Ekspresi mereka direpresi. Sembilan mahasiswa UTI tak hanya dipanggil kampus. Mereka juga terancam kehilangan masa depan. Sebab, hak pendidikannya hilang.
Kita memang patut bersuara atas ketidakdilan. Sebab, apa yang dialami oleh mahasiswa UTI menjadi preseden buruk bagi perkembangan kampus. Ke depan, bisa saja hal serupa menimpa mahasiswa di kampus lain. Tak ada ruang kritik. Forum diskusi direpresi dan diintimidasi. Ruang berbicara diteror dan diawasi. Senja kala demokrasi semakin nyata.
Main Kuasa
Terkini, kasus tersebut memasuki babak baru. Enam dari sembilan mahasiswa itu akhirnya menggugat keputusan rektor UTI. Hal itu setelah berbagai upaya nonlitigasi tak menemui titik terang. Didampingi LBH Bandar Lampung, empat gugatan dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Bandar Lampung, Selasa, 8 Juni 2021. Dua gugatan belum diajukan. Sebab, kelengkapan administrasi tidak berbarengan dengan empat mahasiswa sebelumnya. Kendati demikian, mereka komitmen untuk menggugat keputusan rektor UTI ihwal skors dan DO.
Akan tetapi, ditengah perjalanan, lagi-lagi pihak kampus “bermain kuasa.” Usai menjalani sidang kedua pada 21 Juni lalu, mahasiswa yang menggugat mendapat intervensi dan iming-iming pencabutan sanksi. Mereka didatangi petinggi kampus. Ia menawarkan pencabutan skors dan DO dengan syarat mereka bersedia menekan surat pernyataan. Penawaran itu disampaikan beberapa kali.
Selang beberapa hari, dua dari enam mahasiswa yang menggugat menyatakan mundur dan menerima tawaran pihak kampus. Dua mahasiswa itu menandatangani surat pernyataan. Isi surat, mahasiswa siap untuk mematuhi peraturan UTI, yaitu tata tertib, statuta, dan kode etik UTI.
Tindakan pihak kampus dapat dimaknai sebagai relasi kuasa. Dua mahasiswa itu tentu mengalami pergolakan batin. Satu sisi mereka ingin berjuang untuk mendapat keadilan, pada sisi lain mereka tidak ingin kehilangan masa depan. Sebagai pihak yang lemah, mereka terpaksa menerima tawaran kampus supaya mencabut sanksi. Pertimbangan ekonomi membuat mereka tak berdaya melawan kuasa kampus.
Upaya kampus tersebut justru mengingkari proses-proses hukum formil yang sedang berjalan, yaitu mengintervensi pihak yang sedang berperkara di luar persidangan. Sehingga, mencederai peradilan yang bersih dan adil.
Hal yang dilakukan pihak kampus juga menggambarkan watak diktator. Pemimpin kampus cenderung otoriter. Dengan kuasanya, kampus semena-mena menjatuhkan sanksi dan memberi iming-iming pencabutan sanksi, seolah hukum bisa dengan mudah mereka permainkan.
Alih-alih menciptakan mahasiswa sebagai agen perubahan, kampus tak ubah pabrik yang hanya mencetak para tenaga kerja. Menciptakan “robot” untuk mengikuti perintah tuannya.(*)