Armayanti Sanusi | Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung | Penyintas Covid-19
KETIKA Anda membaca tulisan ini, saya dan keluarga masih isolasi mandiri. Saya sedang mengandung anak ketiga. Usia kandungan memasuki sembilan bulan.
Perjalanan kami dimulai pada 3 Juli lalu. Waktu itu, saya merasakan gejala tak biasa: demam tinggi, batuk kering, kepala sangat sakit, ngilu sekujur tubuh disertai sesak napas. Semula, saya mengira karena kelelahan bekerja, sehingga menimbulkan dampak bagi kesehataan saat hamil tua. Itu mengingat aktivitas saya, di mana pada 1 – 2 Juli 2021, saya mengisi diskusi bimbingan teknis bersama kawan-kawan pekerja sosial di salah satu hotel di Bandar Lampung.
Karena gejala yang terus terasa parah, akhirnya saya memutuskan untuk memeriksa kesehatan di salah satu klinik di Natar, Lampung Selatan, pada 5 Juli. Saat konsultasi, dokter bilang jika gejala yang saya rasakan tidak hilang dalam tiga hari ke depan, maka saya harus tes antigen. Saya sempat bertanya, apakah ada layanan swab gratis di fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit atau puskesmas setempat. Pihak klinik menjawab, “Sepertinya tidak ada. Kemungkinan Anda akan diarahkan pada layanan kesehatan umum.”
Tiga hari berselang, kondisi kesehatan saya tidak menunjukkan perubahan. Pada sore dan malam hari, saya tetap demam, tubuh menggigil, tulang semakin sakit, gagal napas, dan mual. Kali ini, tidak hanya terasa sesak. Namun, saya kehilangan napas dari paru-paru. Hal ini terjadi berkali-kali dalam hitungan detik. Kadang saya berteriak dan menangis karena stres mengkhawatirkan bayi dalam rahim saya. Sementara, tabung oksigen dan perlengkapan medis lainnya tidak ada.
Pada 8 Juli, saya bersama suami tes antigen di salah satu rumah sakit. Kami membayar biaya mandiri sebesar Rp270 ribu per orang. Hasilnya: saya terinfeksi virus SARS – CoV – 2 (Covid-19), dan diminta untuk isolasi mandiri. Pihak Rumah sakit mengeluarkan surat Laporan Hasil Pemeriksaan Rapid Tes Covid-19 dan dua lembar kertas panduan isolasi mandiri di rumah.
Tatkala mendengar dokter menyarankan untuk isolasi mandiri, saya dan suami meminta agar saya mendapatkan pelayanan dan perawatan medis di rumah sakit. Permintaan itu mempertimbangkan kondisi kesehatan yang kritis dan bayi dalam kandungan. Namun, pihak rumah sakit menolak dengan alasan sudah penuh dan tidak bisa menerima pasien Covid-19.
Kemudian, suami saya meminta pihak rumah sakit dapat merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang menerima pasien Covid-19. Jawaban mereka, “Semua rumah sakit penuh, bapak akan sulit mengakses. Sebaiknya isolasi mandiri saja di rumah.” Mendengar hal itu, saya dan suami terdiam dan saling pandang.
Sebelum melangkah pulang, saya bertanya kepada dokter dan tenaga medis, apakah tidak ada alat bantu seperti oksigen maupun obat untuk meringankan gejala saya. Tapi, mereka bilang, persediaan tabung oksigen habis dan tak perlu minum obat. Cukup minum air hangat, banyak makan dan istirahat. Selain itu, mandi dengan air hangat serta mematuhi panduan isolasi mandiri. Dengan perasaan tak menentu, kami pun pulang ke rumah dalam kondisi lemas.
Pada 9 Juli, suami dan kedua putra saya menjalani swab antigen. Hasilnya, putra kami terpapar Covid-19. Kami panik. Sebab, kami tidak punya pengalaman untuk isolasi mandiri di rumah. Kondisi itu berdampak secara psikologis. Sungguh, ini tidak mudah dilalui. Kondisi ini sangat berat bagi kami sekeluarga.
Kami mencoba untuk mencari layanan kesehatan gratis dengan mendatangi puskesmas dan rumah sakit, tapi nihil. Selain itu, kami juga memberi tahu kondisi kami kepada ketua RT dan warga di lingkungan kami. Alih-alih mendapat bantuan, kami malah menerima stigma. Bahkan, RT setempat sama sekali tidak mendatangi kami. Sementara, kondisi kami yang sedang isolasi mandiri tidak memungkinkan kami untuk mengakses kebutuhan pokok dan obat-obatan.
Akhirnya, saya membuka akses informasi atas keadaan saya dan keluarga kepada teman-teman. Mereka kemudian menggalang bantuan, seperti tabung oksigen, obat-obatan, dan alat medis lainnya. Mereka juga mengirimkan sembako dengan cara menggantungnya di pagar rumah saya. Hingga menuliskan pengalaman berharga ini, saya masih menangis mengingat solidaritas dan rasa kemanusiaan yang tinggi dari kawan-kawan.
Selain pertolongan dari kawan-kawan aktivis, saya merasa perlu untuk konsultasi dengan dokter terkait obat-obatan dan perkembangan janin. Saya mencoba berbagai cara agar bisa konsultasi secara online, baik melalui aplikasi Zoom maupun hotline WhatsApp. Namun, sekali lagi, usaha tersebut tak membuahkan hasil.
Dengan keadaan yang sedemikian rumit dan sulit, kami akhirnya menguatkan diri untuk terus bertahan. Sekuat tenaga, kami berupaya melawan virus ini meski tanpa pengawasan dari pihak medis. Kami menjalankan panduan isolasi mandiri di rumah secara ketat. Mulai dari memakai masker, memisahkan diri antara yang sehat dan sakit, menjaga jarak, rajin cuci tangan dan memisahkan alat makan, serta menyemprot disinfektan secara rutin di ruang-ruang yang kami anggap kritis untuk dijangkau.
Sampai akhirnya masa kritis gejala Covid-19 terasa ringan. Pada 19 Juli atau lebih dari 16 hari dari merasakan gejala dan isiolasi mandiri, kami sekeluarga kembali memeriksakan diri lewat tes antigen. Alhamdulillahi robil Alamin, Puji Tuhan, hasil laboratorium menyatakan kami sekeluarga negatif Covid-19. Kami mampu melewati masa-masa kritis dan menjadi penyintas Covid-19 atas dukungan banyak pihak.
Saya mendapat pelajaran penting dari perjalanan panjang kami melawan Covid-19: Kita tidak bisa berharap banyak pada pemerintah. Skema pelayanan melalui program kerakyatan hanya setengah hati. Hal ini dibuktikan dengan lemahnya mekanisme pelayanan kesehatan maupun standar rujukan dalam penanganan Pandemi Covid-19 di Lampung. Alasan klise seperti rumah sakit penuh, tabung oksigen habis dll telah merenggut begitu banyak nyawa.
Bagi saya, kasus Covid-19 dan kematian bukan hanya sekadar angka. Tapi lebih dari itu, berapa banyak orang yang hingga saat ini berjuang sendiri. Bahkan, mungkin tak jarang harus menyerah karena tidak ada jaminan keselamatan dan akses kesehatan dari negara. Skema penanganan Pandemi Covid-19 melalui program kesehatan dan bantuan sosial sesungguhnya nama kosong yang tidak solutif bagi rakyat.
Harga tes swab yang mahal, kelangkaan tabung oksigen, dan layanan kesehatan yang terkesan komersial harus menjadi refleksi bagi pengambil kebijakan. Sebab, orang-orang miskin seperti saya yang akan menanggung derita paling pahit.(*)