Abdullah Fikri, S.H.I., MS.I. | Dosen Hukum Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur
AKHIR September, tepatnya tanggal 30, seringkali diperingati sebagai hari Gerakan 30 S PKI. Peringatan itu ditandai dengan ditontonnya berulang-ulang film yang berkaitan dengan gerakan tersebut. Selain itu, pengibaran bendera setengah tiang di halaman rumah-rumah masyarakat pun menjadi bagian dari memperingati hari bersejarah tersebut. Aktivitas itu seolah-olah menjadi budaya yang harus dilakukan setiap tanggal tersebut. Namun demikian, generasi bangsa perlu refleksi: apa sebenarnya manfaat dibudayakannya aktivitas tersebut?
Jika membudayakan memperingati gerakan PKI yang memiliki maksud untuk mengubah ideologi Pancasila dapat memperkuat dan membenahi kehidupan bangsa dan negara, maka aktivitas itu bisa menjadi cambuk dalam penguatan ideologi Pancasila. Demikian sebaliknya, dengan budaya memperingati bagaimana gerakan PKI pada saat itu, namun hanya sekadar untuk membuka luka lama di antara anak bangsa, maka perlu kita renungkan kembali aktivitas yang telah membudaya tersebut.
Pertanyaan mendasarnya: masih relevankah aktivitas tersebut di tengah carut-marutnya negeri ini diberbagai bidang, khususnya berkaitan dengan politik identitas dan beruntunnya kasus korupsi di kalangan pejabat publik dan bagian dari penegak hukum?
Gerakan komunisme yang menjadi bagian dari sejarah panjang Indonesia memang memberikan pengalaman pahit sebagai bentuk upaya untuk mengubah ideologi negara Indonesia. Fakta sejarah itu tidak dapat dibantah. Namun, perenungan mendalam penting untuk dilakukan oleh komponen bangsa. Apakah saat ini nilai-nilai Pancasila telah terpatri dalam sanubari bangsa Indonesia? Renungan kebangsaan terhadap eksistensi nilai-nilai Pancasila sangat penting, mengingat beberapa dekade terakhir kehidupan berbangsa dan bernegara seakan-akan telah menjauhi dari prinsip-prinsip filosofis Pancasila.
Setidaknya, ada tiga bidang yang dapat disoroti ihwal terdegradasinya nilai-nilai Pancasila, yaitu tata pemerintahan, penegakan hukum, dan bidang pendidikan. Ketiga bidang tersebut menjadi pilar dalam kemajuan bangsa dan identitas bangsa Indonesia. Terdegradasinya nilai-nilai Pancasila penting kemudian untuk dilakukannya “revitalisasi” nilai-nilai Pancasila. Artinya, nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila menjadi hidup dan bagian dari perangkat lunak dalam penyelenggaraan pemerintahan, penegakan hukum, serta pendidikan.
Runtuhnya Pilar Peradaban Bangsa
Dua bulan terakhir, publik dihebohkan dengan penangkapan rektor perguruan tinggi negeri, hakim agung, dan gubernur. Sebenarnya, peristiwa seperti ini bukan sesuatu yang luar biasa karena sering terjadi. Meski begitu, peristiwa demikian merupakan ironi dan paradoks.
Rektor adalah seseorang yang telah berada dipuncak tertinggi jabatan struktural dan intelektual. Artinya, rektor yang menjadi “the guardiant of civilization” dan penggerak bagi perkembangan ilmu pengetahuan (to promote of the science) justru memporak-porandakan hakikat kedudukan tersebut. Status akademik sebagai “profesor” merupakan puncak akademik yang memiliki segudang kerangka berpikir ilmiah. Jauh lebih penting, seorang rektor memiliki mimbar kebebasan akademik. Konsekuensinya, ketika seorang profesor berbicara sudah dianggap sebagai “sabda pandita ratu” (konsep kerajaan Jawa). Artinya, pendapat profesor tersebut dijadikan acuan dan dipercaya sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Disamping itu, jabatan rektor merupakan kedudukan tertinggi dalam institusi perguruan tinggi yang menunjukkan adanya dan diakuinya kualitas kemampuan manajerial dan leadership dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Lalu, mengapa perbuatan korupsi serta tindakan yang serupa dapat terjadi di lembaga pendidikan tinggi? Hal ini menjadi evaluasi bersama. Catatan pentingnya adalah perbuatan seperti ini bisa juga terjadi di tingkatan pendidikan dasar menengah, bahkan bisa juga terjadi berkaitan dengan pemilihan kepala sekolah.
Sementara itu, tertangkapnya seorang hakim agung menyiratkan terjadinya degradasi moral dan etika dalam penegakan hukum. Kasus tersebut bukanlah hal yang pertama kali dalam sederetan kasus korupsi yang menyeret hakim. Jauh sebelum peristiwa tertangkapnya hakim agung, beberapa tahun lalu, masih teringat dengan jelas ihwal penangkapan dan vonis terhadap hakim konstitusi terkait kasus suap. Kasus-kasus korupsi yang menyeret hakim, bahkan hakim agung, menjadi keprihatinan. Kondisi semacam ini menjadi ironi di republik yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang dikristalisasikan melalui nilai-nilai Pancasila.
Putusan hakim yang mencantumkan kalimat “Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” memperlihatkan bahwa nilai transendental menjadi bagian penting dalam memutus suatu perkara. Nilai transendental dalam Pancasila yang secara praktis dirumuskan dalam putusan hakim menunjukkan kedalaman nilai religiositas bangsa Indonesia. Vonis yang mencantumkan kalimat tersebut sebagai bagian dari keabsahan sebuah putusan, akan menjadi paradoks ketika perbuatan seorang hakim, hakim agung atau pun hakim konstitusi tidak mencerminkan nilai transendental itu. Dengan demikian, hakim sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum menjadi tidak bernilai. Pada akhirnya, yang terjadi adalah kerusakan tatanan hukum dan peradaban bangsa.
Pada sisi lain, dalam bidang tata pemerintahan bahwa tertangkapnya gubernur Papua menambah panjang daftar pejabat publik yang tersandung perkara korupsi. Bahkan sebelumnya, kasus yang mencederai rasa kemanusiaan adalah tertangkapnya menteri sosial di masa pandemi Covid-19. Ditengah-tengah terjadinya bencana yang melanda seluruh dunia, justru terjadi peristiwa seperti itu.
Kedudukan Papua sebagai daerah yang diberi otonomi khusus yang berimplikasi pada alokasi anggaran khusus menjadikan Papua sebagai daerah yang didorong untuk melakukan percepatan dalam pembangunan, baik dalam aspek kemanusiaan maupun infrastruktur. Otonomi khusus kepada Papua sekaligus sebagai bentuk penerapan sistem desentralisasi asimeteris, berakibat pada pengalokasian anggaran khusus yang cukup besar sebagai bentuk keseriusan upaya pemerataan pembangunan. Lebih dari Rp500 Triliun di masa pemerintahan gubernur yang tertangkap telah digelontorkan. Namun, belum terlihat jelas peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat Papua.
Pengalokasian anggaran khusus yang cukup besar justru dapat menjadi permasalahan korupsi jika tidak digunakan secara hati-hati, proporsional, dan profesional. Akibat dari pengalokasian anggaran khusus seperti ini, berpotensi besar hanya dinikmati oleh kalangan elite daerah. Dengan demikian, penting mekanisme dan penguatan pengawasan terhadap penggunaan anggaran khusus atau anggaran istimewa atau dengan istilah lain yang merupakan bagian dari penerapan desentralisasi asimetris yang berdampak pada politik anggaran desentralisasi asimeteris.
Pancasila vs Commune-Moneyisme
Berbagai peristiwa yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, menunjukkan adanya degradasi terhadap pengimplementasian nilai-nilai Pancasila. Pancasila tidak sekadar dijadikan sebagai nilai ideal, namun juga menjadi nilai praktis. Sebagai nilai praktis, nilai-nilai Pancasila seyogianya menjadi pemandu penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Perluasan nilai praktis dari Pancasila berkaitan dengan fungsi kontrol dan auto-kritik terhadap penegakan hukum oleh penegak hukum. Hal ini menyangkut bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi “staatfundamentalrech” yang mengilhami berbagai kebijakan dan pembentukan hukum.
Upaya penguatan nilai-nilai Pancasila dan mengantisipasi potensi tindak pidana korupsi berikut dengan turunan tindak pidana tersebut telah dirumuskan dengan realisasi pendidikan antikorupsi di sekolah dasar, pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, dan terbentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Langkah-langkah tersebut merupakan langkah yang bersifat esensial. Artinya, upaya yang ditempuh berkaitan dengan pembangunan jiwa kejujuran dan membangun jiwa Pancasilais. Kendati demikian, pembangunan sistem dalam tataran teknis juga perlu dirumuskan. Dengan kata lain, revitalisasi nilai-nilai Pancasila dapat melalui dimensi ideal dan dimensi practical.
Politik uang untuk menduduki suatu jabatan publik masih sering terjadi. Sikap “berani” untuk melawan politik uang atau terbentuknya kepemimpinan yang transaksional menjadi bagian paling penting untuk dimiliki setiap insan Pancasila. Artinya, ideologi Pancasila dapat runtuh bukan karena desakan ideologi komunisme, akan tetapi ideologi “commune-moneyisme”. Pertarungan nyata di bangsa Indonesia bukanlah semata-mata pertarungan komunisme vs Pancasil. Akan tetapi, Pancasila vs “commune-moneyisme” yang telah merasuk ke hampir seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Istilah “commune-moneyisme” berangkat dari pemahaman bahwa dalam melakukan tindak pidana korupsi, suap, dan/atau pencucian uang tidak mungkin secara sendiri. Setidaknya, dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut melibatkan beberapa orang, sehingga membentuk sekelompok yang saling berhubungan (commune) dengan tujuan bersama untuk memperkaya kelompok tersebut yang pada prinsipnya memperoleh uang (keuntungan) sebanyak-banyaknya menjadi tujuan utama (dapat disebut sebagai moneyisme). Oleh karena itu, Pancasila tidak akan runtuh dengan ideologi besar apa pun. Akan tetapi, waspadalah dengan “commune-moneyisme” yang terjadi di dalam tubuh bangsa sendiri.
Menghadirkan kembali nilai historis Pancasila yang mengandung nilai transendental, menjadi bagian utama dalam membangun jiwa Pancasila yang dapat mendorong jauh dari “commune-moneyisme”. Dengan menghidupkan kedua nilai tersebut (historis dan transendental) dapat dijadikan langkah revitalisasi nilai-nilai Pancasila yang kemudian dirumuskan ke dalam dimensi ideal dan practical.(*)