BEBERAPA minggu yang lalu, saya melihat Lampung menjadi peringkat satu dalam tren di Twitter. Namun, bukan karena prestasi yang diunggulkan, melainkan karena Lampung dianggap sebagai daerah yang korup.
Semuanya bermula dari kritik yang dilontarkan oleh Tiktoker asal Lampung, Awbimax, terhadap pembangunan di Provinsi Lampung. Kritik tersebut mencakup pembangunan Kota Baru di Lampung Selatan, serta kondisi jalan yang kacau balau.
Ternyata, kritikan tersebut sampai ke telinga orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo. Jokowi dan menterinya kemudian mengunjungi Lampung untuk membuktikan pernyataan Bima tentang kondisi rusaknya jalan di Lampung.
Saat itu, Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, mendapat teguran keras dari Jokowi. Jokowi mengungkapkan bahwa beberapa ruas jalan yang dilewatinya di Lampung Tengah dalam kondisi mulus.
“Jalannya mulus, enak. Dinikmati,” ujar Jokowi sambil tersenyum seperti yang dilansir dari siaran langsung Kompas TV pada Jumat, 5 Mei 2023.
Kritik pedas kemudian bermunculan di berbagai media sosial. Arinal menjadi sorotan atas kinerjanya sebagai Gubernur Lampung. Publik mempertanyakan apa yang telah dilakukan Arinal selama hampir lima tahun menjabat.
Belum lagi, ingatan kita tentang buruknya tata kelola Provinsi Lampung belum sepenuhnya hilang, Arinal kembali membuat ulah. Arinal melakukan intervensi dan menghalangi jurnalis Kompas TV saat meliput kegiatan yang dilakukannya pada Senin, 15 Mei 2023.
Saat itu, Arinal meminta wartawan Kompas TV untuk menghapus rekaman video tersebut. Tindakan intervensi dan penghalangan terhadap kerja jurnalistik tersebut dilakukan Arinal di hadapan para ASN dan petugas haji.
“Jangan diviralin dulu, hapus semua. Lagi pusing saya. Sebentar-sebentar viral, sebentar-sebentar viral. Nanti dibuat gubernur marah, jadi netizen,” kata Arinal dalam sambutannya.
Arinal adalah cerminan buruk dalam demokrasi di Lampung. Ia tidak hanya sekali melakukan intimidasi terhadap jurnalis, namun sebelumnya ia juga mengintimidasi jurnlis RMOL Lampung, Tuti Nurkhomariyah, agar hanya memberitakan hal-hal yang menggambarkan dirinya dalam kondisi baik-baik saja.
“Kalau kamu itu, mulai hari ini kamu akan saya pelajari… sudahlah kamu beritakan yang baik-baik saja. Apalagi sudah pakai kerudung, sami’na wa atho’na. Jangan sampai nanti innalillahi wainna ilaihi rojiun,” kata Arinal kepada jurnalis RMOL Tuti Nurkhomariyah saat itu.
Contoh kasus jurnalis Kompas TV maupun RMOL Lampung menunjukkan ketidakpahaman seorang pemimpin akan pentingnya informasi publik. Tindakan intimidasi semacam ini merupakan pelanggaran Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 pasal 4.
Kita tidak boleh melupakan fakta bahwa kebebasan pers dan pers yang independen adalah pilar penting dalam sistem demokrasi. Jurnalis bekerja untuk menyampaikan informasi.
Apabila kerja jurnalistik terhambat, maka hak warga untuk mendapat informasi akurat dan kredibel tidak tersalurkan secara baik.
Lebih buruk lagi, tindakan intervensi penghalangan kerja jurnalistik semacam ini dapat mencederai demokrasi, serta menyebabkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik dan pemilihan pemimpin menjadi terbatas. Ini berpotensi mengarah pada otoritarianisme dan penurunan kebebasan sipil secara keseluruhan.
Dalam sisa masa kepemimpinan sebagai Gubernur Lampung, Arinal seharusnya menciptakan iklim demokrasi yang baik. Kritik dan masukan dari masyarakat harus dianggap sebagai bentuk kepedulian, dan sebaiknya pemimpin menerima masukan dari warganya. Sekali lagi, kita perlu terus mengingat betapa pentingnya kebebasan pers dan pers yang independen dalam sistem demokrasi. Tetap berpikir merdeka.