Site icon AJI Bandar Lampung

AJI Si Jarkoni: Jago Bela Kebebasan Berpendapat dan Pernah Tutup Kolom Komentar Instagram

Sebutan jarkoni pantas disematkan kepada AJI Indonesia pasca memposting dua konten terkait Asean Queer Advocacy Week. Mereka membela kebebasan berpendapat dan ekspresi orang lain, tapi turut jadi ‘aktor’ pembungkaman digital.

Alfanny Pratama F (Pengurus AJI Bandar Lampung)

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memang tak perlu diragukan lagi dalam membela kebebasan berekspresi dan berpendapat. Wajar begitu, karena lahirnya AJI pada 7 Agustus 1994 merupakan bentuk perlawanan atas pembungkaman media oleh rezim saat itu.

AJI sebagai organisasi profesi yang diakui konstituen Dewan Pers ini sebenarnya konsisten menyuarakan pelbagai persoalan. Misalnya; kesejahteraan; profesionalisme pers; serta mendorong demokratisasi dan menentang otoritarianisme.

Tak tanggung-tanggung, berkat kegigihan menjalankan misi AJI, para anggotanya ada yang dijebloskan dalam penjara pada 1995. Seperti, Ahmad Taufik, Eko Maryadi, Danang Kukuh Wardoyo, dan Andi Syahputra, mitra penerbit AJI turut dikurung di bui pada 1996.

Keberhasilan AJI dalam merawat demokrasi ada yang ‘berbuah manis’. Contohnya, pada 2020 dikabulkan gugatan pemblokiran internet di Papua. Lalu, mengawal kasus korban penganiayaan Jurnalis Tempo, yakni Nurhadi, hingga pelaku dijebloskan ke penjara. Selain itu, masih banyak deretan perjuangan yang dilakukan AJI sesuai misinya.

Pembungkaman Dunia Digital

Berjalannya waktu, khususnya setelah akun Instagram AJI Indonesia memposting dua konten pada 15 Juli 2023 terkait acara Asean Queer Advocacy Week. Saya sebagai pengurus AJI Bandar Lampung, sejak saat itu menyematkan sindiran jarkoni kepada organisasi yang hari ini ulang tahun ke-29 tersebut.

Penyematan jarkoni kepada AJI Indonesia ini, karena tumben-tumbennya menutup kolom komentar Instagram untuk dua postingan mengenai Asean Queer Advocacy Week. Padahal, konten yang dibuat oleh AJI membela kebebasan berpendapat dan ekspresi oleh orang lain.

Akan tetapi, kok AJI malah menutup kesempatan orang lain untuk berpendapat dan berekspresi terhadap postingan yang telah mereka buat. Seharusnya tahu, bahwa tutup komentar menjadi simbol pembungkaman digital, terlebih ini lembaga yang menjunjung tinggi demokrasi. Kalau itu akun pribadi Instagram, baru sah-sah saja mau privat, tutup kolom komentar, atau lainnya.

Perilaku AJI yang terbaru inilah disebut dalam bahasa Jawa, yaitu iso ajar ora iso ngelakoni alias jarkoni. Bentuk sindiran itu untuk seseorang yang hanya dapat mengajarkan kebaikan dan melarang kuburukan, tapi penerapan secara personal dalam kehidupan sehari-hari tak mencontohi atau menjalankannya.

Mencontohkan Beri Ruang Menyampaikan Pendapat

Seharusnya, AJI dapat meniru YLBHI, PBHI, HWRG Indonesia, dan Sejuk. Mereka membuat konten yang sama terkait membela kebebasan berpendapat dan ekspresi Arus Pelangi sebagai penyelenggara Asean Queer Advocacy Week. Namun, konten lembaga-lembaga tersebut tidak mematikan kolom komentar Instagramnya.

Walaupun, pada akhirnya konten yang mereka buat terdapat ribuan komentar oleh warganet ataupun buzzer. Namun, hal tersebut tak menjadi persoalan. Biarlah mereka berpendapat apapun, baik itu pro dan kontra, atau berekspresi dengan report akun. Sampai-sampai akun Instagram jadi ‘lumpuh’ pun, seharusnya tak masalah, kan bisa buat lagi.

Pasalnya, itu hal krusial dan penting karena bagian menerapkan dan mencontohkan ke dalam kehidupan sehari-hari secara konkret tentang arti kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sampai tulisan ini dibuat, di grup-grup AJI ternyata belum ada menemukan pembahasan tentang tutup kolom komentarnya dua postingan Instagram AJI Indonesia.

Tidak tahu alasannya kenapa tak jadi bahasan, bisa jadi karena tidak tahu. Lalu, ada yang tahu, tapi malas berkomentar, atau ada yang mengetahui, namun tak berani mengkritik organisasi sendiri. Maka sepengetahuan saya, alasan AJI Indonesia menutup kolom komentar pun tak ada informasinya.

Sebagai, pengurus yang sayang AJI tentu tulisan dibuat agar permasalahan yang sederhana ini, tapi penting jadi tak terulang lagi masa mendatang. Maka ini menjadi catatan di HUT AJI ke-29, yaitu pernah sebagai ‘aktor’ pembungkaman di dunia digital.***

Alfanny Pratama F (Pengurus AJI Bandar Lampung)

Exit mobile version