SIARAN PERS
Bandar Lampung– Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dinobatkan sebagai aktor represifitas kerja jurnalis di Lampung oleh AJI Bandar Lampung. Penobatan tersebut diberikan pada kegiatan Diskusi Merawat Jurnalisme di Lampung, Jumat (1/9).
Ketua AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kesuma mengatakan penobatan Polri sebagai aktor represifitas kerja jurnalis di Lampung karena paling banyak catatan kasus yang tidak mendukung kebebasan pers di Lampung selama lima tahun terakhir. Berdasarkan catatan data AJI Bandar Lampung 1 Januari 2019- 31 Agustus 2023 Polri ada empat persoalan dengan pers. Lalu, disusul Guburnur dan Kejati Lampung sama-sama dua kasus dengan insan jurnalis.
Dian merinci Polri yang bersoal dengan pers. Pertama, jurnalis Lampung Post Ahmad Sobirin mengalami kekerasan verbal usai meliput pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) di Tulangbawang Barat, (26/1/21). Pelakunya adalah oknum polisi.
Kedua, Syahrudin (jurnalis Lampungsegalow.co.id) dan Heridho (jurnalis Lampungone.com) mendapat intimidasi dari oknum polisi berpakaian preman di Jalan Wolter Monginsidi, Telukbetung, (7/10/20). Waktu itu, keduanya meliput kericuhan antara para pedemo dengan aparat. Mereka merekam aksi aparat yang sedang memukuli siswa SMA menggunakan besi dan kayu. Kemudian, oknum polisi membentak mereka dan memaksa agar menghapus rekaman video.
Selanjutnya, Hari Ajahar (Jurnalis Radar Lampung Radio) dan Angga(Jurnalis Metro TV) mengalami intimidasi ketika meliput aksi sweeping oleh anggota kepolisian, (8/10/20). Terakhir, aparat kepolisian melakukan intimidasi dan intervensi terhadap jurnalis Fajar Sumatera dan Pers Mahasiswa (UKPM Teknokra dan LPM Kronika) saat meliput aksi demo cabut UU Ciptaker, (30/3/23).
“AJI Bandar Lampung saat ini menobatkan Polri sebagai aktor represifitas kerja-kerja jurnalis di Lampung,” ucapnya.
Ketua Pelaksana Umar Robbani mengatakan penghargaan Saidatul Fitriah dan Kamaroeddin pada tahun ini tidak diberikan oleh AJI Bandar Lampung. Alasannya, AJI tidak menemukan berita dalam setahun terakhir yang layak untuk diberi penghargaan Saidatul Fitriah.
“Begitu juga penghargaan Kamaroeddin karena tidak ada kelompok atau individu yang memiliki komitmen dalam memperjuangkan kebebasan pers,” tuturnya.***
Komentar