AJI Bandar Lampung

Jurnalisme Warga, Gundah Gulana di Linimassa

Ilustrasi | Storify.com

 Tri Purna Jaya | Jurnalis Kompas.com

SEJARAH pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tumbuh dan berkembangnya sistem politik dalam negeri sejak masa penjajahan Belanda. Awalnya, pers hanya berfungsi pada tataran propaganda pemerintah Belanda kala itu. Lalu, pribumi-pribumi yang kritis menggunakannya untuk perjuangan hak-hak yang terjajah.

Dari banyak literasi, koran mingguan Medan Prijaji (1907) yang didirikan oleh RM Tirto Adhi Soerjo dan Raden Djokomono dianggap sebagai awal sejarah pers nasional.

Koran ini dianggap yang pertama kali menggunakan modal nasional dan dipimpin oleh orang Indonesia setelah sebelumnya seluruh media massa dipegang kendali oleh Belanda. Koran berbahasa melayu ini lalu diubah formatnya dari minggguan menjadi harian pada 1910.

Seiring perkembangan zaman, makin banyak perusahaan pers tumbuh dan memperbarui format-format yang telah ada. Mulai dari Televisi hingga media online.

Citizen journalism dan Media Sensasi

Tidak dapat dipungkiri perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat sejak medio 2000-an membuat alur informasi menjadi bebas dan dinamis. Pun begitu dengan ranah jurnalistik, hingga muncul istilah citizen journalism atau jurnalisme warga.

Tak perlu bicara banyak tentang awal mula jurnalisme warga ini. Yang jelas, dampak dari jurnalisme warga sangat signifikan. Memanfaatkan ruang publik yang telah teringerasi pada gadget, informasi tak perlu menunggu lagi untuk didedahkan di pelbagai ruang publik –kebanyakan jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Path, dan sebagainya.

Banyak manfaat dan banyak pula dampak negatif dari jurnalisme warga ini. Karena info yang didapat oleh orang-orang biasa itu bisa cepat tersebar, seperti efek domino dari satu orang ke sekelompok lalu ke komunitas dan dikonsumsi sebuah negara. Bahkan, bisa berkembang secara nasional dan internasional.

Dan lagi-lagi, karena prinsip jurnalisme yang dipakai oleh jurnalisme warga ini (kebanyakan) hanya keaktualan informasi, maka informasi yang disebarkan umumnya menjadi bias. Terlebih, jika menyangkut peristiwa yang bisa menimbulkan kepanikan masal jika disebar, kerusuhan antarwarga misalnya.

Mari melihat satu contoh. Pada waktu kerusuhan saat pembersihan kawasan stasiun antara polisi, PT KAI dengan pedagang di Depok beberapa waktu lalu, seorang kawan hampir tiap menit me-retweet tuit kawannya yang menurut dia pada saat itu berada di lokasi.

Di-retweet-nya lah tuit-tuit tentang kondisi lokasi kejadian yang mencekam, dar der dor bunyi ledakan pistol, hingga korban yang berjatuhan karena terkena tembakan petugas. “Astagfirullah!” “Kejam!” “Polisi buta!” beberapa tanggapannya.

Ia lalu menuding beberapa media online yang juga me-running berita itu dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu (dalam hal ini PT KAI). Indikatornya, tidak ada dan tidak disebutkan adanya korban tembak. “Media dibayar!” ujarnya.

Apa yang terjadi kemudian? Berkembanglah isu ada beberapa korban terkena tembakan petugas dalam kerusuhan itu. Warga yang belum tahu kejadian itu melalui media massa seperti koran dan televisi langsung mengirimkan info dangkal kejadian itu secara berantai melalui seluruh media informasi.

Namun begitu ditelusuri, dari tuit-tuit selanjutnya, pemberi info pertama –orang yang tweet-nya di-retweet itu- pun masih ragu apakah ada yang tertembak. Sebab, begitu dicek ke rumah sakit tidak ada laporan tentang itu. Tetapi, informasi sudah terlanjur berkembang dan tersebar di seluruh jejaring sosial seperti Facebook, Twiter, Blackbery Massanger, Blog, bahkan layanan pesan singkat atau SMS dan akhirnya menimbulkan kepanikan massal.

Inilah dampak yang paling buruk dari adanya jurnalisme warga. Berita yang disampaikan oleh warga yang tidak jelas siapa dan terkesan dibesar-besarkan dapat menimbulkan kepanikan dari siapapun yang menerimanya. Jika si penerima tidak betul-betul mengecek dan ricek kembali pesan itu, maka akan menimbulkan ketakutan yang bisa menyebabkan kerusuhan semakin melebar.

Sebenarnya, jurnaslime warga ini banyak manfaatnya. Bahkan, sejumlah media besar memberikan ruang untuk jurnalisme warga. Warga secara acak mengumpulkan dan menyebarkan informasi secara sukarela tanpa mengharapkan fee ataupun pamrih dari siapapun atau lembaga apapun. Tetapi, sangat disayangkan jika info yang disebarkan tidak melalui pemeriksaan kebenaran berita, sebagaimana yang dipakai oleh wartawan sebenarnya, yaitu 5W+1H.

Dan jauh lebih bodoh lagi kalau ada media yang langsung menyiarkan laporan jurnalisme warga itu menjadi berita hanya karena sensasi.(*)

Catatan: Artikel ini sebagai tugas pra Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) AJI Bandar Lampung pada 2014.

Baca tulisan Tri Purna Jaya lainnya: “Ado Idak?”: Anomali Wartawan  

Exit mobile version