Wandi Barboy Silaban | Jurnalis Lampung Post
PRABOWO Subianto kembali membuat pernyataan kontroversial. Kali ini, jurnalis atau wartawan yang kena getahnya. Ia menuding pers telah berupaya memanipulasi demokrasi.
“Jurnalis hanya anteknya orang yang ingin menghancurkan Republik Indonesia,” kata Prabowo saat berpidato pada peringatan Hari Disabilitas Internasional di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu, 5/12/2018.
Kekesalan Prabowo didasari oleh minimnya publikasi acara reuni 212 di Monas yang dihadirinya. Prabowo menuding sikap media-media yang tidak memberitakan acara reuni 212 tidak objektif.
Sebelum tersulut emosi yang tidak keruan, ada baiknya jurnalis berpikir positif dahulu terhadap pernyataan mantan komandan jenderal Kopasus tersebut. Jurnalis perlu melakukan refleksi.
Tentu timbul pertanyaan mengapa Prabowo menyebut jurnalis hanya antek yang ingin menghancurkan republik? Mengapa pula ia menyebut wartawan telah mengkhianati tugas sebagai jurnalis, padahal ada juga sejumlah jurnalis yang tetap meliput peristiwa itu? Dan, banyak pertanyaan lainnya yang mengganjal di hati sebagai jurnalis.
Andreas Harsono, jurnalis yang juga pegiat HAM, menyatakan salah satu profesi yang sulit dikatakan sebagai buruh adalah wartawan. Mereka harus independen, tapi harus mengikuti aturan. Mereka adalah profesi yang sekaligus juga merupakan buruh di sebuah perusahaan. Namun, hal ini mestinya bukan menjadi alasan bagi wartawan untuk tidak menjalankan tugasnya secara profesional.
Indah Wulandari, peneliti Remotivi, sebuah lembaga pusat studi media dan komunikasi, dalam tulisannya Panggil Aku Wartawan yang berisi tentang bagaimana wartawan televisi era reformasi memaknai profesionalismenya. Secara sederhana, dalam tulisannya Indah menyimpulkan profesionalisme ialah jika jurnalis itu mengikuti aturan perusahaan.
Di era digitalisasi seperti saat ini, jurnalis seakan ada di persimpangan. Ya, kini pekerja media selalu bekerja pada dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Di satu sisi, ada dimensi bisnis dan industri yang menekan mereka untuk memberi untung kepada perusahaan. Di sisi lain, ia juga memiliki tanggung jawab terhadap publik, dengan fungsi ideal mereka sebagai anjing penjaga demokrasi (watch dog) dan sumber informasi masyarakat.
Kedua hal ini menunjukkan ada masalah yang perlu dipecahkan. Daniel Dhakidae, ilmuwan sosial, dalam satu perbincangan menyebutkan ada tiga hubungan penting yang mesti dipahami jika ingin berbicara media secara luas. Hubungan antara negara, modal, dan media. Ketika masa Orde Baru, sangat kuat hegemoni negara, maka negara via aparaturnya bisa menguasai media. Kini, para pemilik modal yang menguasai media.
Wartawan tentu bukan profesi tanpa cela. Tiap wartawan bisa saja berbuat salah, tapi selanjutnya harus berupaya memperbaiki kesalahannya. Tugas jurnalis sejatinya adalah memberi tahu warga kalau ada penyalahgunaan kekuasaan. Warga harus tahu apa yang salah, apa yang benar, sehingga mereka bisa mengambil sikap dengan informasi yang lengkap.(*)
Baca juga: Bajingan! Adik Saya “Diracuni” Amplop
Catatan: Artikel ini dimuat Lampung Post dengan judul “Jurnalis di Persimpangan”, 10 Desember 2018. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dan bertukar gagasan.
Link selengkapnya: https://www.lampost.co/berita-jurnalis-di-persimpangan.html