
Mikha Selina Putri | Mahasiswa Unila | Anggota GMKI Bandar Lampung
PANDEMI Covid-19 berdampak besar pada kehidupan manusia. Tak hanya sektor kesehatan, pagebluk itu juga berdampak pada sektor ekonomi hingga pendidikan. Pun demikian dengan kehidupan di desa. Walau pandemi, program percepatan pembangunan desa harus tetap berjalan.
Namun, tidak demikian di wilayah Register 44, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Waykanan, Lampung. Kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) itu berpenduduk lebih dari 316 jiwa. Di sana tak ada perangkat desa, seperti lurah. Daerah ini pun tidak mendapat kucuran dana percepatan pembangunan desa dari pemerintah pusat.
Kondisi di kawasan register itu sebelum dan ketika pandemi sama saja. Masyarakat setempat masih kesulitan karena harga karet dan singkong anjlok hingga Rp800 per Kg. Belum lagi kondisi jalan seperti cetakan sawah. Di beberapa titik terdapat kubangan yang dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan. Kondisi tersebut telah berlangsung lama dan tak kunjung mendapat perbaikan.
Selain itu, sejak tahun 2000, listrik tidak kunjung menerangi kawasan Register 44. Warga setempat mengandalkan panel surya sebagai penerangan pada malam hari. Bila hujan, cahaya lampu akan meredup. Anehnya, desa tetangga telah masuk listrik.
Pandemi juga semakin mempersulit para siswa sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Tidak semua warga memiliki smartphone. Kondisi itu belum ditambah sinyal yang buruk. Sehingga, mereka masuk sekolah setiap satu minggu sekali. Kendati demikian, sudah ada pos WiFi di sejumlah titik.
Bangunan sekolah masih ada yang berdinding papan. Bangku yang digunakan pun tidak layak pakai. Miris, pada era Revolusi 4.0 masih terdapat sekolah yang bermasalah secara infrastruktur. Padahal, infrastruktur kelistrikan dan smart school merupakan prioritas pembangunan kerja gubernur dan wakil gubernur Provinsi Lampung tahun 2019-2024.
Menurut PP 7/1990, tujuan utama pembangunan HTI antara lain menunjang pembangunan industri hasil hutan (termasuk pangan) dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa negara; meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup dan memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha bagi masyarakat. Seharusnya masyarakat yang mengolah sumber daya alam HTI mendapat hak yang sama atas pembangunan bahwa setiap individu dan seluruh umat manusia memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik (Deklarasi Hak Atas Pembangunan MU PBB, Nomor 41/128, 4 Desember 1986).
Kenyataannya, mereka justru kesulitan dan taraf hidup tidak sejahtera. Bukankah sangat menggelitik?
Tetapi, yang menjadi masalah adalah setiap kegiatan di kawasan register HTI merupakan wewenang penuh Kementeriaan Kehutanan. Perorangan dan perusahaan yang ingin meningkatkan fungsi produksi lahan harus memiliki surat izin dari kementerian. Jika tidak, mereka bisa dikenakan pidana.
Lalu, bagaimana dengan peran Pemprov Lampung dan Pemkab Waykanan? Apakah nasib warga register akan terus-menerus seperti ini? Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang layak?
Perlu ada solusi dan kejelasan regulasi dari pemerintah pusat yang bekerja sama dengan pemerintah daerah terkait nasib masyarakat di kawasan Register 44. Jangan sampai terulang peristiwa berdarah di kawasan register di Mesuji pada 2019.
Jika memang hanya dikhususkan untuk lahan produksi tanpa hunian, maka harus segera diberi ketegasan dalam bentuk peraturan dan penertiban. Bila bisa digunakan untuk hunian, maka perlu pengawalan dan bimbingan dari pemerintah setempat kepada warga register untuk perizinan usaha di atas tanah negara. Sehingga, pembangunan infrastruktur dapat dilakukan. Semoga para penguasa menyerap aspirasi ini karena berapa pun jumlah warganya, pemimpin harus selalu siap mendengar.(*)