Kekerasan Seksual, Ke Mana Perspektif Media?

SEORANG warga berdiri di depan kediaman penyintas kekerasan seksual di Lampung Timur. | M Yoga Nugroho

Muhammad Yoga Nugroho | Pemimpin Umum Sukma Polinela 2019-2020

SAYA tak kan melupakan Juli 2020. Bulan itu adalah pengalaman berharga bagi saya. Betapa tidak, saya mendapat kesempatan meliput peristiwa besar: Kekerasan seksual! Saya sebut besar karena kejadian tersebut menjadi perbincangan publik serta perhatian media lokal dan nasional.

Kasus kekerasan seksual itu menimpa seorang anak yang baru lulus sekolah dasar. Pelakunya, anggota Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. Pelaku adalah pendamping penyintas. Bukannya melindungi, ia justru memerkosa penyintas yang tengah menjalani pemulihan akibat diperkosa pamannya. Pemerkosaan itu berulang kali, yakni di rumah pelaku dan penyintas.

Ini adalah liputan terjauh saya. Selama ini, saya lebih banyak meliput di kawasan kampus, yakni Politeknik Negeri Lampung (Polinela). Sebagai jurnalis kampus, saya belum pernah meliput kekerasan seksual, terlebih korbannya anak-anak.

Bingung dan kaget, itulah respons yang muncul ketika Ketua AJI Bandar Lampung Hendry Sihaloho mengajak saya meliput peristiwa tersebut. “Kayak mana nih liputan? Apa saya bisa melakukannya?” gumam saya dalam hati.

Akhirnya, saya pun menerima ajakan tersebut. Bagi saya, ini hal baru. Lebih dari itu, saya merasa tertantang. Saya yang sangat minim pengalaman ini perlu banyak belajar untuk meningkatkan kapasitas. Barangkali, apa yang saya peroleh dari liputan itu dapat saya aplikasikan di UKM Suara Kreativitas Mahasiswa (Sukma) Polinela, tempat saya belajar selain AJI.

Banyak hal yang saya dapat selama berhari-hari meliput kekerasan seksual di Lampung Timur. Misal, ternyata mesti mempersiapkan rancangan liputan. Itu menjadi panduan di lapangan. Kemudian, skeptis terhadap pernyataan narasumber. Selain itu, seorang jurnalis tidak mudah menyerah.

Terus terang, semula saya pesimistis terhadap beberapa narasumber. Rupanya, setelah dijalani, semua narasumber bisa ditembus. Pengalaman ini mengajarkan saya satu hal: Jurnalis mesti gigih!

Seperti yang saya bilang bahwa kasus ini mendapat perhatian besar media massa. Di Lampung, pertumbuhan media online bak jamur pada musim hujan. Saya memerhatikan bagaimana media mengemas pemberitaan kekerasan seksual. Beberapa menyajikan berita yang cenderung mementingkan pageview.

Judul dan gambar ilustrasi seronok serta kalimat yang mengundang nafsu berahi menghiasi berita kekerasan seksual. Misalnya, ada kalimat berbunyi, “Aku melakukan hal itu karena dia juga merasakan kenikmatan.”

Kalimat maupun frasa seperti itu menunjukkan bahwa media tidak peka dengan apa yang dialami penyintas kekerasan seksual. Hal ini mengindikasikan bahwa media lebih mengejar tingkat kunjungan pembaca ketimbang keadilan bagi penyintas. Pada konteks ini, penyintas menjadi korban untuk kedua kalinya.

Menurut saya, perspektif media seharusnya berpihak. Bukan membingkai kasus kekerasan seksual untuk menaikkan traffic website. Artinya, keberpihakan terhadap penyintaslah yang seharusnya diberikan media. Sehingga, keadilan bagi penyintas bisa terpenuhi.

Hal lainnya, media seyogianya tidak mengaitkan sesuatu yang tak ada hubungannya dengan kasus tersebut. Dengan kata lain, media concern mengungkap atau menyorot peristiwanya. Selain itu, mengedepankan kode etik dalam meliput dan menulis berita kekerasan seksual.

Barangkali, kita bisa belajar pada media-media di Inggris soal kasus Reynhard Sinaga. Media di sana fokus memberitakan kasusnya. Bahkan, nyaris tidak menyinggung para penyintas. Tampak jelas bagaimana media-media di Inggris menaruh keberpihakan terhadap penyintas. Mungkin, kita bisa meniru perspektif itu. Semoga.(*)

Baca juga: Kekerasan Seksual di Lampung Timur Persoalan Struktural

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *