SIARAN PERS

BANDAR LAMPUNG – Saat ini, kopi menjadi bagian dari gaya hidup milenial. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin menjamurnya kedai-kedai kopi. Masyarakat di Lampung harus mengampanyekan kopi lokal karena sangat memungkinkan untuk menjadi kopi single origin, di antaranya Kopi Ulubelu, Kopi Tanggamus, dan Kopi Lampung Barat.
“Minimal kedai-kedai kopi di Lampung sudah menyerap dan mengenalkan kopi lokal. Sebab, salah satu kopi lokal yang unik dan tidak bisa ditemukan di daerah lain, seperti Kopi Ulubelu yang terdapat rasa gula merah yang berasa manis dan cocok sekali untuk dibuatkan kopi susu,” kata Romi Aprilyansa, pengusaha kopi sekaligus pemilik Rumah Belajar dalam web seminar (webinar) seri-4 yang diadakan oleh Rumah Kolaborasi (RuKo) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung bertajuk “Kopi di Mata Milenial Lampung”, Sabtu, 15/8/2020.
Webinar itu dipandu Pemimpin Redaksi (Pemred) Teknokra Universitas Lampung Mitha Setianiasih dengan empat narasumber, yakni Romi, Sekretaris AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma, Ganang Ardis Elfiando (pegiat Komunias Revolusi Kopi-Rekolupi), dan Eko Prasetya Juliana (Ketua Gapoktan Mandiri Lestari).
Romi mengatakan, tren kopi saat ini belum menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap konsumsi kopi. Indonesia sendiri sebagai penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia, konsumsi kopi hanya sebanyak 1,1 kg per kapita per tahun.
“Agak memprihatinkan karena kita sebagai penghasil kopi terbesar tetapi konsumsi masih kecil dan menurut Kementerian Pertanian konsumsi kopi di Indonesia yang sangat tinggi pada 2017-2018. Setelah itu sampai tahun ini pertumbuhan konsumsi kopi tidak naik signifikan,” ujarnya.
Menurut Ganang, tren kopi arabika yang berasal dari luar Lampung lebih mendominasi, seperti seperti kopi gayo, kopi kerinci dan sebagainya.
“Keterbatasan informasi soal pengenalan kopi di Lampung menjadi salah satu penyebab ketidaktahuan masyarakat terhadap kopi robusta terbaik dan terbesar di Indonesia,” kata dia.
Ganang menilai, peminat kopi lokal di kedai-kedai kopi Lampung belum begitu banyak. Mereka cenderung menyukai kopi luar Lampung. Karena itu, perlu melakukan inovasi seperti membuat kopi dengan cita rasa yang berbeda dengan menggunakan kopi Lampung.
“Dari 10 orang konsumen kopi di kedai kopi, paling hanya satu sampai dua konsumen yang membeli kopi robusta Lampung dan kebanyakan membeli kopi seperti kopi gayo dll,” ujarnya.
Dia berharap, para pegiat kopi dapat membuat kopi dengan inovasi terbaru. Sehingga, bisa menarik peminat kopi, terutama generasi milenial.
Eko menyatakan, generasi milenial jangan hanya mengikuti tren kopi dan menjadi konsumen semata. Mereka perlu mengetahui pengolahan kopi. Dengan demikian, generasi milenial bisa memahami produksi dan distribusi kopi.
“Ketika anak-anak muda hanya bergumul di industri hilir dan tidak di industri hulu, tak menutup kemungkinan kopi akan punah. Padahal, menjadi petani kopi banyak yang sukses,” kata dia.
Eko menambahkan, generasi milenial harus lebih memahami bahwa kualitas kopi berbeda-beda. Kemudian, menjadikan kopi itu sebuah kebutuhan sehari-hari dengan takaran yang sesuai.
“Tren kopi saat ini untuk generasi milenial harus lebih peduli terhadap kualitas kopi dan tidak ikut-ikutan saja untuk tertarik mengonsumsi kopi,” ujarnya.
Sementara itu, Dian mengatakan bahwa pemberitaan komoditas kopi masih minim. Untuk itu, perlu peran jurnalis dalam mengampanyekan kopi Lampung di kalangan milenial. Dia berharap, peran media lebih masif lagi.
“Seperti mengikuti webinar, pelatihan, dan fellowship menjadi jalan untuk meliput ihwal kopi,” kata Dian.(*)
Baca juga: Skema Kolaborasi Solusi Kelola Panas Bumi untuk Agribisnis
Narahubung
Yoga Nugroho (081332465532)