Hendry Sihaloho | Jurnalis Lepas
PADA suatu kesempatan, saya memenuhi interviu salah satu perusahaan media. Wawancara ini respons atas lamaran kerja. Perusahaan yang berkedudukan di Ibu Kota itu membuka lowongan salah satu posisi.
Proses wawancara secara virtual. Dua petinggi redaksi mewawancarai secara bergantian. Mereka menanyakan sejumlah hal. Namun, saya merasa terusik ketika disampaikan ihwal memproduksi konten-konten yang berpotensi viral.
Mereka bahkan mencontohkan salah satu berita dengan judul yang bagi saya menipu. Judul berita dimaksud merujuk nama aktor kawakan yang kini menjadi pejabat publik. “Kita mengikuti konsep Tribun, tapi tidak seperti Tribun,” katanya.
Ketika wawancara, mereka menanyakan pendapat saya tentang judul-judul berita demikian. Saya bilang bahwa saya menolak berita clickbait. Sebab, judul berita seperti itu mengelabui pembaca. Tujuannya jelas: memupuk kapital lewat page views! Semangatnya bukan berangkat dari menjawab rasa ingin tahu publik. Padahal, jurnalisme punya tujuan mulia, yakni menyediakan informasi yang dibutuhkan warga, sehingga mereka bisa mengatur dan mengelola hidupnya secara bebas.
Selepas interviu, saya merenung. Saya membayangkan kualitas jurnalisme dengan praktik ber-media. Di sini, mutu jurnalisme kerap dipersoalkan. Sementara, tak sedikit petinggi media di ruang-ruang publik menyampaikan soal memproduksi konten yang bernas, namun realitasnya tak demikian. Paradoks!
Konten yang mengedepankan clickbait tak hanya membuat pembaca kecele. Lebih dari itu, ia dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap media. Taruhannya adalah reputasi. Lambat atau cepat, pembaca bakal meninggalkan media yang tidak menjaga kredibilitas.
Berdasar riset Dewan Pers dengan Fakultas Ilmu Komunikasi Prof DR Moestopo pada 2019, angka kepercayaan terhadap surat kabar harian hanya pada tingkat ‘cukup percaya’ (47,9%); dan ‘percaya’ (31,1%). Angkanya turun untuk televisi, yakni cukup percaya (40,9%) dan percaya (29,1%). Sedangkan tingkat kepercayaan terhadap media siber, cukup percaya (50,5%) dan percaya (18,9%).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap media belum begitu kuat. Ini sebenarnya peringatan keras bagi media yang notabene mesti mengutamakan kepentingan publik. Faal media sebagai institusi pengungkapan kebenaran sedang dipertaruhkan.
Adapun alasan responden percaya pada suatu media karena data dan fakta yang disajikan (65,1%). Alasan lainnya, nama media terpercaya (21,2%) dan narasumber berita sebesar 13,6%.
“Penyajian data di media arus utama menjadi kekuatan media-media tersebut untuk mendapat kepercayaan masyarakat,” tulis riset tersebut.
Sementara, studi Edelman Trust Barometer, sejak 2012 hingga 2018, kepercayaan masyarakat terhadap media memperlihatkan tren yang cenderung menurun. Tahun 2013, tingkat kepercayaan terhadap media sempat meningkat dari 68% pada 2012 menjadi 73%. Namun, setelah itu, menurun bahkan mencapai 63% pada 2016.
Penurunan karena beberapa hal di antaranya media dinilai lebih fokus menarik perhatian pembaca dengan berita yang bersifat clickbait. Kemudian, media terkesan tidak akurat dan mendukung suatu ideologi atau posisi politik tertentu dalam menyampaikan informasi.
Kejar bisnis
Media memiliki dua wajah: kepentingan publik (idealisme) dan bisnis. Berita sensasional, clickbait, dan judul bombastis mengesankan bahwa media lebih mengejar sisi bisnis. Arahnya jelas: cara itu akan meningkatkan jumlah kunjungan pembaca. Dengan demikian, berdampak positif pada pendapatan perusahaan media. Padahal, loyalitas utama jurnalisme kepada masyarakat.
Penulis Buku “The Elements of Journalism”, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, menawarkan lima gagasan utama dalam menempatkan loyalitas. Pertama, pemilik media/korporasi harus berkomitmen pada warga negara terlebih dahulu. Kedua, mempekerjakan manajer bisnis yang juga mengutamakan warga negara. Ketiga, menetapkan dan mengomunikasikan standar yang jelas. Keempat, wartawan memiliki keputusan akhir atas berita. Kelima, mengomunikasikan standar yang jelas kepada publik.
Bila diperhatikan, idealisme media berkelindan dengan bisnisnya. Sebab, yang dijual media adalah kepercayaan dan ini butuh proses. Media yang menempuh cara instan mengerek keuntungan, seperti konten sensasional dan clickbait, justru sedang menggali kuburan sendiri. Sebab, media itu akan ditinggalkan pembaca. Dengan demikian, berdampak buruk pada bisnisnya.
Media memang perlu sehat secara bisnis untuk mendukung kerja-kerja jurnalistiknya. Namun, bukan berarti gelap mata. Jika ditilik, pengelolaan bisnis kebanyakan media cenderung masih konvensional, misal bagaimana memproduksi konten agar viral dan mendewakan search engine optimization (SEO). Kompas berpendapat, penerapan SEO yang berlebihan dapat mendorong media massa ke arah content farm atau peternakan konten.
Memperbaiki mutu jurnalisme bisa dengan membenahi bisnis. Namun, menggantungkan pendapatan dengan SEO/tingkat kunjungan pembaca maupun iklan, terutama advertensi pemerintah, sangat mungkin mengganggu independensi media, bahkan menggadaikan kredibilitas. Karena itu, perusahaan media perlu mencari alternatif lain dalam mengelola bisnis.
Beberapa pilihannya antara lain donasi publik, crowdfunded journalism, dan paywall (berlangganan). Model bisnis dengan donasi publik belum banyak diterapkan. Pun demikian dengan crowdfunded journalism. Konsep ini pernah dipraktikkan De Correspondent–platform online untuk berita tak terputus yang bebas iklan. Di Indonesia, Asumsi.co tengah mencoba model tersebut.
“Media seharusnya bekerja untuk publik, bukan klik,” begitu tagline yourmedia.asumsi.co-kanal yang menerapkan crowdfunding.
Meski demikian, konsep ini memiliki prasyarat, yakni media mesti kredibel. Sebab, bagaimana mungkin publik sudi berdonasi kepada media yang tidak kredibel?
Sementara, model dengan konsep paywall mulai banyak dipraktikkan industri media. Strategi model ini adalah mengutamakan pelanggan dan berinvestasi pada jurnalisme berkualitas. Pertanyaannya, benarkah karya jurnalistik yang disajikan bermutu?
Ada pandangan pro dan kontra ihwal konsep paywall. Mereka yang pro memandang bahwa publik perlu berkontribusi untuk jurnalisme berkualitas. Sedangkan yang kontra berpandangan bahwa jurnalisme mengabdi pada kepentingan publik, sehingga publik tidak perlu membayar berita.
Kloning berita
Selain persoalan bisnis, masalah lain yang turut memperburuk kualitas jurnalisme kita adalah laku wartawan. Di kalangan jurnalis, sudah bukan rahasia ihwal kloning berita. Maka, jangan heran bila Anda pernah menemukan berita yang sama di sejumlah media, mulai dari lead hingga tanda baca.
Coba perhatikan berita ini dan ini. Kemudian, berita ini, ini, dan ini. Atau bandingkan berita ini dengan ini dan ini.
Praktik buruk tersebut melanggengkan plagiarisme. Media secara sadar melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 2 KEJ mengatur bahwa “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Cara profesional itu antara lain tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
Hal lainnya, hoax. Tengok saja situs pengecek fakta. Belum lama ini sejumlah media nasional mewartakan seorang menantu memerkosa mertuanya hingga tewas. Peristiwa itu terjadi di Pakistan. Setelah pengecekan, ternyata produk jurnalistik tersebut hoax alias kabar bohong. Artinya, media gagal menjalankan fungsinya sebagai penyaring informasi. Padahal, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Tumpul perspektif
Kita belum bicara soal perspektif media. Coba lihat bagaimana media memberitakan aksi #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya. Sudut pandang kebanyakan media mengenai kerusuhan dan vandalisme, bukan mendedahkan hal substansial. Bahkan, riset Remotivi menyebut media menjadi humas pemerintah ketika melaporkan aksi menentang omnibus law atau #MosiTidakPercaya.
Lewat bukunya, Kovach dan Rosenstiel telah mengingatkan bahwa tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal penting menjadi menarik, dan perpaduan yang tepat antara yang serius dan kurang serius. Tujuannya, memberi orang informasi yang mereka butuhkan untuk memahami dunia. Tantangan pertama adalah menemukan informasi yang dibutuhkan orang untuk menjalani hidup. Yang kedua adalah membuatnya bermakna, relevan, dan menarik.
Jika jurnalisme bisa menjadi signifikan dan menarik, mengapa media gagal? Musababnya adalah terdapat serangkaian masalah yang menghalangi penyampaian berita: tergesa-gesa, ketidaktahuan, kemalasan, formula, dan bias.
Pun demikian dengan pemberitaan kekerasan seksual. Tak sedikit media melindungi pelaku dengan menyamarkan identitasnya. Padahal, yang mesti dilindungi adalah penyintas. Pada konteks ini, perspektif media terlihat tumpul.
Oligarki media
Kepemilikan media juga memberi dampak terhadap bobot jurnalisme. Dalam bukunya “Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital”, Ross Tapsell memetakan delapan konglomerasi media yang disebutnya makin oligopolistik. Mereka adalah Trans Group milik Chairul Tanjung; MNC Group kepunyaan Hary Tanoesoedibjo; EMTEK (SCMA Group) milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja; Lippo Group punya James Riady; Kompas Group milik Jacob Oetama; Visi Media Asia Milik Bakrie Group; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan; dan Media Group punya Surya Paloh. Beberapa dari bos media itu terafiliasi dengan partai politik, yakni Hary (Perindo), Aburizal Bakrie (Golkar), serta Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai NasDem.
Beberapa teman yang menjadi kontributor/koresponden media yang pemiliknya juga elite partai pernah mengesah. Mereka “wajib” meliput agenda-agenda partai politik dimaksud. Meski secara jurnalistik kegiatan yang diliput kurang punya nilai berita, namun seakan tak kuasa menolak. Ini mengafirmasi bahwa bos-bos itu menggunakan medianya untuk kepentingan politiknya.
“Media arus utama di Indonesia menjadi jauh lebih partisan daripada sepuluh tahun lalu, yang terlihat jelas dalam liputan pemilihan umum 2014,” tulis Tapsell di bukunya.
‘Jurnalisme amplop’
Selain perspektif dan oligarki media, ada persoalan klise yang memengaruhi kredensial jurnalisme, yaitu amplop. Praktik “amplop” di kalangan jurnalis berlangsung sejak lama dan bukan lagi rahasia. Lain daerah lain pula penyebutan istilahnya.
Di Jakarta, misalnya, amplop bagi wartawan disebut “jale”. Sedangkan di Lampung terdapat beberapa istilah, antara lain “ado” dan “singi” yang artinya liputan dimaksud ada uangnya.
Bahkan, kelas wartawan di Lampung bukan lagi amplop, tapi proyek. Simak saja sidang kasus korupsi yang menjerat sejumlah bupati. Fakta persidangan mengungkap nama jurnalis yang turut dalam proyek yang mendakwa sang kepala daerah.
Pada prinsipnya, wartawan tak boleh sama sekali menerima pemberian dari narasumber. Beberapa media di Amerika Serikat, misal Washington Post, mengatur wartawannya untuk menolak, bahkan sekadar traktiran makan siang. Prinsip dari menolak pemberian adalah menghindari konflik kepentingan.
Pelbagai persoalan di atas sejatinya relatif sering disampaikan dalam diskusi maupun kegiatan seputar jurnalisme. Namun, upaya yang terlihat seperti paradoksal. Di satu sisi media menyadari, tetapi pada sisi lain tidak tampak kesungguhan untuk memperbaiki mutu jurnalisme. Jadi, apakah reparasi mutu jurnalisme itu paradoks dan omong kosong?