LAMPUNG BARAT – Desa Ujung Rembun berada di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut (mdpl). Terletak di Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat, desa ini berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Di pagi yang dingin itu, Supriyono (35) sudah siap bekerja. Menunggangi motor trail, ia membawa cangkul dan parang menuju kebun kopinya. Jaraknya tak begitu jauh, sekitar 3 Km dari rumahnya di Desa Ujung Rembun.
Supriyono adalah salah satu petani kopi yang menerapkan metode agroforestry. Metode tersebut mengombinasikan tanaman pertanian dan tanaman kehutanan untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Menjadi petani kopi agroforestry memiliki banyak tantangan, seperti kopi mati diserang hama.
“Jadi, dalam satu batang itu mati semua. Masalahnya, mereka akan merambat ke batang lainnya,” kata Supriyono di rumahnya, Kamis, 17 Desember 2020.
Tiap tahun, ayah dua anak itu bisa memanen kopi sekitar 1,5-2 ton. Ketika ditawarkan, kopi petani Ujung Rembun dihargai Rp17 ribu per Kg. Harga tersebut terbilang murah dibanding kopi lain yang kualitasnya tak kalah jauh.
“Jika pengeluaran sama dengan hasil panen ya impas, kami enggak punya tabungan. Bagi kami, yang penting hasil panen bisa menopang biaya hidup ke depan,” ujarnya.
Sulit Pemasaran
Kopi Ujung Rembun disebut punya mutu yang baik. Bahkan, beberapa kali mengikuti perlombaan kualitas kopi. Problemnya adalah petani setempat kesulitan pemasaran.
“Kami kalah akses, kalah jalan. Jadi, masyarakat Ujung Rembun menjual produknya ke Sumatra Selatan. Itu kelemahan kami di sini. Sebenarnya, produk kami lumayan bagus,” kata Supardi, Ketua Lembaga Himpunan Pemekonan Desa Ujung Rembun.
Problem lainnya, petani setempat kurang pengetahuan ihwal pengolahan kopi. Kemudian, sulit terkoneksi dengan internet sehingga minim akan informasi, khususnya seputar kopi.
“Pertama, akses jalan. Kedua, jaringan komunikasi. Jika kedua akses ini bagus, kemungkinan kami dari rumah saja bisa cari grup petani kopi dan menemukan solusi dari situ,” ujarnya.
Jual ke Sumatra Selatan
Kendala-kendala itu akhirnya membuat warga Ujung Rembun berniaga ke Sumatra Selatan. Mereka membangun hubungan ekonomi dengan tetangga Provinsi Lampung itu. Hubungan perdagangan tersebut terjalin hingga kini.
“Sistemnya, kami ambil barang dahulu atau istilahnya simpan pinjam. Jadi, mau tidak mau, kami harus bawa barang kepada tengkulak di sana. Harapannya, mereka memberikan uang sebelum masa panen. Ketika panen, hasilnya diberikan kepada mereka,” ucap Supardi.
Rendahnya harga kopi asal Ujung Rembun disebabkan beberapa faktor. Paling utama adalah kondisi jalan yang dinilai ekstrem. Bila hujan, maka jalan akan licin dan berlumpur. Kondisi ini tentu menyulitkan pendistribusian barang yang berimbas pada biaya. Sebab, pendistribusian kopi yang semestinya satu hari bisa menjadi 2-3 hari.
“Karena faktor jalan yang luar biasa suram (rusak berat) dan medannya sangat curam. Apalagi cuaca seperti sekarang curah hujan terbilang tinggi,” kata Jawadi, Kepala Desa Ujung Rembun.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Barat menyatakan berkomitmen membangun infrastruktur seluruh pekon, khususnya jalan dan jembatan. Hal itu untuk memudahkan mobilitas antarwilayah guna meningkatkan perekonomian daerah setempat.
“Pada 2020, sudah dianggarkan rencana pembangunan jalan Lumbok Suka Banjar sampai Ujung Rembun. Tetapi, pandemi membuat kami harus melakukan refocusing (memfokuskan kembali anggaran),” ujar Agustanto Basmar, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Lampung Barat.
Ihwal petani menjual kopi ke Sumatra Selatan, Agustanto bilang, “Kami tidak bisa menghalangi. Sebab, kondisinya memang lebih mudah mendistribusikan (kopi) melalui danau ke arah Sumatra Selatan.”
***
Kopi Agroforestry dan Hutan
Satrio Tri Handono adalah Community Organizer Officer Wildlife Conservation Soeciety (WCS) Indonesia Program. Ia bertugas mendampingi petani kopi di sekitar batas hutan kawasan TNBBS di wilayah Lumbok Seminung. Tujuannya, agar petani menanam kopi dengan cara berkelanjutan di luar kawasan TNBBS. Secara kelembagaan, WCS mendukung pelestarian TNBBS.
Dalam pendampingan itu, WCS mendukung masyarakat dengan memberikan pelatihan kepada petani tentang budi daya kopi yang baik. Maksudnya, dengan lahan yang kecil dapat menghasilkan kopi dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
“Jadi, tidak perlu membuka lahan dalam kawasan TNBBS. Kami juga mengajarkan petani menanam pohon penaung di kebun kopinya untuk menjaga kualitas tanah,” kata Satrio.
Budi daya kopi dengan sistem agroforestry dinilai menjaga kelestarian ekosistem hutan. Juga mendukung produksi kopi berkelanjutan. Melalui agroforestry, diharapkan tidak ada lagi pembukaan hutan.
“Tapi, hanya memaksimalkan lahan yang ada. Jadi, segi fungsi ekosistem hutan tetap terjaga,” ujarnya.
Pemkab Lampung Barat menyebut tak ada lagi pembukaan lahan hutan untuk menanam kopi. Tetapi, pembukaan lahan baru untuk menanam kopi masih mungkin dilakukan, asal bukan kawasan hutan. Namun, penanamannya perlu mendapat perhatian, seperti tidak membakar hutan dan bukan lahan miring.
“Sebab, lahan miring tidak akan menghasilkan kopi yang bagus. Jika tetap dipaksakan, maka memerlukan biaya (produksi) yang tak sedikit,” kata Agustanto.
Secara ekonomi, budi daya kopi dengan sistem agroforestry dipandang sebagai terobosan karena memperbaiki kualitas lingkungan. Dengan kata lain, kopi memiliki nilai tambah. Sederhananya, kopi dengan sistem agroforestry menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan kopi.
“Jika penjualan kopi disiasati dengan baik, hal tersebut bisa meningkatkan nilai jual. Ini sudah terjadi di lapangan. Petani yang memiliki sertifikasi untuk teknik penanaman yang baik, kopinya diterima dengan nilai yang tinggi ketimbang (kopi) asalan dan tanpa sertifikasi,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Lampung Ruchyansyah.
Meski begitu, kopi agroforestry bukan tanpa tantangan. Persoalannya, masih banyak petani yang belum menyadari manfaat kopi dengan sistem agroforestry. Mereka masih beranggapan bahwa hidup dari kopi.
“Padahal, kalau mereka membudidayakan agroforestry, mereka akan mendapatkan keuntungan. Contohnya, masa panen yang bergantian. Bila hanya menanam kopi, mereka cuma bisa panen satu tahun sekali,” kata Ruchyansyah.(*)
Andre Prasetyo Nugroho, jurnalis Teknokra
Catatan: Liputan ini bagian dari “Lampung Journalist Fellowship Program 2020” AJI Bandar Lampung-Bestari. Hasil peliputan juga dimuat di Teknokra.com.